Sabtu, 04 Juni 2011

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPer)

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
BUKU KESATU
ORANG
BAB I
MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan
Tionghoa)
Pasal 1
Menikmati hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.
Pasal 2
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali
kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak
pernah ada.
Pasal 3
Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hakhak
kewargaan.
BAB II
AKTA-AKTA CATATAN SIPIL
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan
Tionghoa)
BAGIAN 1
Daftar Catatan Sipil Pada Umumnya
Pasal 4
Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 10 Ketentuan-ketentuan Umum Perundangundangan
di Indonesia, maka bagi golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran,
daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan perceraian, dan daftar kematian.
Pegawai yang ditugaskan menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, dinamakan Pegawai Catatan
Sipil.
Pasal 5
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung menentukan dengan peraturan tersendiri,
tempat dan cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, demikian pula cara menyusun aktaakta
dan syarat-syarat yang harus diperhatikan. Dalam peraturan itu harus dicantumkan juga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat,
mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan
keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3985);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANGUNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah
dengan Undang-Undang:
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan
Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal
Angka 1 Undang-Undang ini.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan
ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
q. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud
pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k
diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2)
diubah, ayat (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus,
dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang- undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperole h perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak
yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah
5 (lima) huruf, yakni huruf i sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga
Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak
3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah
sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal
dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari
1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami- isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami- isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami- isteri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami- isteri dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.
8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta Penjelasan huruf f
diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggo ta persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagianbagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun
selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan
atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan
sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta
yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang
bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas
harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
4 tahun
8 tahun
25%
12,5%
50%
25%
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
6,25%
5%
5%
12,5%
10%
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki
dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah
nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual
atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat
diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian
bagi pihak yang mengalihkan. (11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok
harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah serta di antara ayat (1)
dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas
nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang
usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:
Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Kelompok Harta Tak
Berwujud
Masa Manfaat
Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
50%
25%
12,5%
10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang
dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber
alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggitingginya
20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau
hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) serta Penjela san ayat (4)
diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,
dibuat dan disempurnakan terus- menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan
netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib
menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau
tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka
penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah
sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam
negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam
suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai
dengan ayat (7) diubah serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat,
yakni ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh
lima persen) ya ng mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
jumlah Penghasilan Kena Pajak dib ulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut
dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk
1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap
bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).
14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di
antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan
ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan
harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui
pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose
company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai
hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau
special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat
ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk
biaya atau penge luaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan
ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
d. Dihapus.
15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali
aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur
biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang
tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1).
16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di
antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara
asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap
bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan
atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang
dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecua li
ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan
huruf g dihapus dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1)
dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang- undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada
ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar
negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah,
ayat (9) dihapus, serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (8a) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk
tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai
berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak
masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala;
dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar
negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember 2010.
(9) Dihapus.
21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan
huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto
oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau penga lihan harta di Indonesia, kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang
dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua
puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentua n sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan
ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b dan huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk us aha tetap.
22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada
kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran
pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian
perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerahdaerah
tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta
pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
24. Pasal 31B dihapus.
25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan
80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib
Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal
31E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas
bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk
batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 31E
(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-
Undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32B sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32B
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang
diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan
negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib
menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib
menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN
I. UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang
ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta
rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan
nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk
dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan
peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional
khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada
prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan,
kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi
penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh
karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan
ini adalah sebagai berikut:
a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya
saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu
dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut perlu
dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan meliputi pokok-pokok sebagai
berikut:
a. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan
perluasan subjek dan objek pajak dalam hal- hal tertentu dan pembatasan
pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya;
b. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain,
mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan
memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif
pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang meliputi
penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta
penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak
yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
c. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self
assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan
pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan
agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan
perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa
peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar
dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau. diperolehnya dalam tahun pajak.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang
ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk
penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai
atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan "tahun pajak" dalam Undang-Undang ini adalah tahun
kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli
waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan
tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak
tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan
Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau
ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (la)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar
negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat
didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik
orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan
dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam
negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada
di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam
negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang
ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak.
Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli
waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak
pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka
terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri.
Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau
badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di
Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui
bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek
pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place
of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesinmesin,
peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis
(automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi
atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi
tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di
Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat
tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk
menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan
menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau
tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal,
tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara
lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila
mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga
Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh
penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia
termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian
yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya
penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk
ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin
dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
i penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
ii penghasilan dari usaha dan kegiatan;
iii penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
iv penghasilan lain- lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua
jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan
untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu
tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan
lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk
memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada
contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji,
premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau
imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura
yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan
seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain
sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan
dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa
buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut
merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha
dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan
keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya
dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil
tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan
demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah
seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta
rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang
membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan
penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara
harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan
objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam
hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan
usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai
bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku
atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan
bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa
selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan
harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak
yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh
hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek
pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan
sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1). pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2). pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3). pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4). pembagian laba dalam bentuk saham;
5). pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6). jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7). pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8). pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9). bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10). bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11). pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12). pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang
melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara
bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga ya ng berlaku di pasar, diperlakukan
sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a). penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b). penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c). penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut di atas.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan
seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa
pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
(Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk
perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan
pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan
kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan
kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak
menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan
antara lain:
- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan nvestasi dan tabungan
masyarakat;
- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak
- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya.
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk
sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat
Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti
bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi,
misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya
diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT
A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh
badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihakpihak
yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan
tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut
diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbala n dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan
dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras,
gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bent uk kenikmatan, seperti penggunaan
mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib
Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan
lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib
Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini
selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi
yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh
dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi
pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),
tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan
(Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib
Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri
maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan
sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan
objek pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana
pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik
atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang
diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang
akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran
tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran
tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan
ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal
ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun
dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali
kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu
diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi.
Oleh karena itu pene ntuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam
ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu
kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang
diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk
penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini,
bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk
meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha
tersebut diatur oleh MenteriKeuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal
ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke
bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan
berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh
sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian
dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah
mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus
kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang
mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2
(dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih
dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga,
biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu
tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh
dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya,
pengeluaranpengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3)
huruf h Rp100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp300.000.000,00 (+)
Jumlah penghasilan bruto Rp400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya
yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan
objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman
yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga
perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaranpengeluaran
untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas
pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran
premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi
tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan
dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan
cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima
atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk
natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e,
boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus
dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang
baik.
Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut
dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta
penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak
Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak
Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan.
Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang
penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud
serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta
penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa
untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan
melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana
pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak
dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan
dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam
jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan
perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam
rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat
dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa,
dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi
komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional,
melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat
(1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu
miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A
sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal
tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun
2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada
akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua,
anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak.
Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp21.120.000,00
{Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk
isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja
diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp15.840.000,00. Apabila
penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada
awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan
tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1
Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib
Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1
(satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga
kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 7
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh
anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal- hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara
terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya
dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan
dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi
pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).
Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar
Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan
pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).
Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendirisendiri.
Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding
dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk
masing- masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
- Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp11.020.000,00
250.000.000,00
- Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00 = Rp16.530.000,00
250.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa
pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak
yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima
atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan
ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya
yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan
atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran
dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada
anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena
pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang
akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adala h biaya-biaya yang
dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya
premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para
pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi
dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan
merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka
bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek
pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud
dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi
pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
terpencil;
2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan
untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang
diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai
dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan
memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya
dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi
tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya,
pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan
pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunya i peranan terhadap
penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah
tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam
ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan
sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan
melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mend apatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama
masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk
memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah
tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan
pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya,
sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai
diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi
harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan
atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis
lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus
atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku
pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah
sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga
perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat
dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya
ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai
berikut.
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 150.000.000,00
2009 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2010 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2011 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2012 Disusutkan
sekaligus
18.750.000,00 0
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya
pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara prorata.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai
untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan
gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga
perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin
tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50%
(lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 100.000.000,00
2009 6/12 x 50% 25.000.000,00 75.000.000,00
2010 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2011 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2012 50% 9.375.000,00 9.375.000,00
2013 Disusutkan
sekaligus
9.375.000,00 0
Ayat (4)
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat
dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat
mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan
tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009.
Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2010.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan
atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat
harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat
sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat
dipindahpindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun,
misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidangbidang usaha tertentu,
seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan
pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam
bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam
tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan
harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan
berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya
penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui
dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat
dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal
pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan
penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang
termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib
Pajak.
Angka 10
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi
dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif
amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo
menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak
tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada
tahun pertama dihitung secara prorata. Dalam rangka menyesuaikan dengan
karakteristik bidangbidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk
amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan
amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang
sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan
pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk
harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa
manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat.
Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun
dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.
Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi
yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran
jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan,
sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran
lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya
seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi
dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusaha an hutan, yang mempunyai potensi
10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan
dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah
produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari
potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang
diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah
20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan
telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak
boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas
bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak
di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah
produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X
menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar
Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak
tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan:
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp250.000.000,00
Nilai buku harta Rp250.000.000,00
Harga jual harta Rp300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00 dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai
penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting
untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak
harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib
Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk
usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran
bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal- hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data
lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut,
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan
sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak
diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara
lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan
kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 12
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya
Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan
Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan
penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma
Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan
antara:
1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan
Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan
contoh sebagai berikut.
- Peredaran bruto Rp6.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp5.400.000.000,00(-)
- Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 600.000.000,00
- Penghasilan lainnya Rp50.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut Rp30.000.000,00(-)
Rp 20.000.000,00(+)
- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620.000.000,00
- Kompensasi kerugian Rp 10.000.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan) Rp 610.000.000,00
- Pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak
orang pribadi (isteri + 2 anak) Rp 19.800.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 590.200.000,00
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
- Peredaran bruto Rp4.000.000.000,00
- Penghasilan neto (menurut Norma
Penghitungan) misalnya 20% Rp 800.000.000,00
- Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00(+)
- Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak) Rp 21.120.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000,00
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena
Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara
penghitungan biasa.
Contoh:
- Peredaran bruto Rp 10.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp 8.000.000.000,00(-)
Rp 2.000.000.000,00
- Penghasilan bunga Rp 50.000.000,00
- Penjualan langsung barang
yang sejenis dengan barang
yang dijual bentuk usaha tetap
oleh kantor pusat Rp 2.000.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan Rp 1.500.000.000,00(-)
Rp 500.000.000,00
Dividen yang diterima atau diperoleh
kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000,00(+)
Rp 3.550.000.000,00
- Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3)Rp 450.000.000,00(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000,00
Ayat (4)
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak
dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka
penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar:
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00) Rp 600.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 584.160.000,00
Angka 13
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30% x Rp100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 (+)
Rp125.000.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara
nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi,
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke
bawah menjadi Rp5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16
ayat (4)): Rp584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30%x Rp84.160.000,00 = Rp 25.248.000,00(+)
Rp 120.248.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan
tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif
pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri
tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan
dalam pengenaan pajak.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi
keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang
dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat
tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal
sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut
dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar
akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha”
adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang
sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan
dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan
modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd.
yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan
di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat
hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari
semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib
Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah
penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga
penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau
metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba
bersih transaksional (transactional net margin method).
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan
menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan
tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap
sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai
dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan
antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk
yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related
parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya
praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan
antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa
hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain- lain,
tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian
hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi
atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan
dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut
Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak
dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan
tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax have country), memiliki 95% (sembilan puluh
lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X
Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan
dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan
sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan
pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham)
perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas
penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang
pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang
berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara
langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham
oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A
sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada
PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam ha l demikian, antara PT A, PT B,
dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25%
(dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat
hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan
badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis
keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang
moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang
dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan
tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan
penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun
badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang
membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian
pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari
kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun
selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus,
gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak
tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat
lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Huruf c
Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua,
dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah
tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang
dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima
tabungan hari tua.
Huruf d
Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan
akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau
penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian
penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan
olahraga, keagamaan, dan kesenian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari
tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta
pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian
penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak,
antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00 Pajak Penghasilan yang harus
dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp25.000.000,00 = Rp3.750.000,00(+)
Jumlah Rp6.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP
adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00
15% x 120% x Rp25.000.000,00 = Rp4.500.000,00(+)
Jumlah Rp7.500.000,00
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
- bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam
pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan
fungsi yang sama;
- badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan
usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan
- Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan
tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria
tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis
barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah,
apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
- penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak
secara efektif dan efisien;
- tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
- prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran
serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan
untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat
bersifat final.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara
lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 18
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara
lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan,
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur
tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z
Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00.
Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah
38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc US$ 100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc.: (48%) US$ 48,000.00 (-)
US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar
US$19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak
sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas
keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh
di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi
besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara penghitungan
besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang
ini, penentuan
sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk
memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka
sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang
tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri
memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan
yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar
di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi
lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun
1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun
pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak
yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah
sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang
dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp50.000.000,00 dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp35.000.000,00 (-)
Selisih Rp15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang
meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00
(Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak
berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak
berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak
untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib
Pajak orang pribadi pada bulan
Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut
untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009,
misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran
pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan
Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009,
yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak
yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak
tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010
adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari
angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam
tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan
terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal
tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima
atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
- Penghasilan PT X tahun 2009 Rp 120.000.000,00
- Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp
150.000.000,00
- Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2009 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 =
Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut
oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 =
1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur
sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai
sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada
tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan
atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun
2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B
dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya
peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat
disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan
didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu.
Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan
prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran
perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan
usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib
Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala
perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban
menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu
periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi
yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling
tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8a)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia,
Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri
kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan
oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan
sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
6. keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri
membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib
Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong
Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas
hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh
persen).
Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner). Oleh arena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan
berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat
kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara
tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila
penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik
atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan
atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas
penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal- hal lain dalam
rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam tahun 2009 Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp 4.900.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp12.600.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar
enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong
pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final,
tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai
Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima)
bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian
kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada
tanggal 31 Agustus 2009.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib
Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah
dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas
penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang
atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak
Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A
sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap ajak A sebagai Wajib
Pajak dalam negeri.
Angka 22
Pasal 29
Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas
akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan
tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31
Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah
tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun
kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak
wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi
atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.
Angka 23
Pasal 31A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-Undang perpajakan
adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan jika benarbenar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan
perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah
untuk mendorong kegiatan investasi la ngsung di Indonesia baik melalui penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala
nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian
dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 31C
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Ayat (1)
Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat
miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku
karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =
Rp480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp772.800.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 32B
Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan
tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi
Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat
mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan
perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia.
Angka 29
Pasal 35
Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur
dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang
diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,
termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal II
Angka 1
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001
atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah
tahun pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001
wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Angka 2
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009
atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah
tahun pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009
wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893