Sabtu, 04 Juni 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pangan yang aman, bermutu dan bergizi
sangat penting peranannya bagi pertumbuhan,
pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan
serta peningkatan kecerdasan masyarakat;
b. bahwa masyarakat perlu dilindungi dari pangan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kesehatan;
c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas untuk
melaksanakanketentuan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3102);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3299);
6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
7. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);
9. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World
Trade Organization (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3564);
10. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3612);
11. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3656);
12. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3676);
13. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
14. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983
tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986
tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3330);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000
tentang Standardisasi Nasional Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4020);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN,
MUTU DAN GIZI PANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
2. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang
dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku
pengolahan pangan.
3. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan
cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
4. Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan untuk konsumsi bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan
kualitas kesehatan kelompok tersebut.
5. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengaturan, pembinaan, dan/atau pengawasan terhadap kegiatan atau
proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap
dikonsumsi manusia.
6. Pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah
diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar
tempat usaha atas dasar pesanan.
7. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia.
8. Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuanketentuan
lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari
kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia.
9. Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap
kemungkinan bertumbuh dan berkembangkiaknya jasad renik
pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
10. Persyaratan sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang
harus dipenuhi sebagai upaya mematikan atau mencegah hidupnya
jasad renik patogen dan mengurangi jumlah jasad renik lainnya agar
angan yang dihasilkan dan dikonsumsi tidak membahayakan
kesehatan dan jiwa manusia.
11. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas,
mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan.
12. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk
diperdsgangkan maupun tidak.
13. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian pangan,
termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang
berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh
imbalan.
14. Penyimpanan pangan adalah proses, cara dan/atau kegiatan
menyimpan pangan baik di sarana produksi maupun distribusi.
15. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke
tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apapun dalam rangka
produksi, peredaran dan/atau perdagangan pangan.
16. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang
memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan
pangan manual hingga semi otomatis.
17. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
18. Pangan produk rekayasa genetika adalah pangan yang diproduksi atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan
lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
19. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik
dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk
mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan
pangan dari jasad renik patogen.
20. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi
dan/atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung
dengan pangan maupun tidak.
21. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria
keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan
terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
22. Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan,
termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus
semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan
masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya.
23. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan
yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta
turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan
manusia.
24. Sertifikasi mutu pangan adalah rangkaian kegiatan penerbitan
sertifikat terhadap pangan yang telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
25. Sertifikat mutu pangan adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
lembaga sertifikasi/laboratorium yang telah diakreditasi yang
menyatakan bahwa pangan tersebut telah memenuhi kriteria tertentu
dalam standar mutu pangan yang bersangkutan.
26. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun tidak.
27. Badan adalah badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan
obat dan makanan.
BAB II
KEAMANAN PANGAN
Bagian Pertama
Sanitasi
Pasal 2
(1) Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan sanitasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang
meliputi antara lain:
a. sarana dan/atau prasarana;
b. penyelenggaraan kegiatan; dan
c. orang perseorangan.
Pasal 3
Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan
dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik yang
meliputi:
a. Cara Budidaya yang Baik;
b. Cara Produksi Pangan Segar yang Baik;
c. Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik;
d. Cara Distribusi Pangan yang Baik;
e. Cara Ritel Pangan yang Baik; dan
f. Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.
Pasal 4
(1) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a adalah cara budidaya yang memperhatikan aspek
keamanan pangan, antara lain dengan cara:
a. mencegah penggunaan lahan dimana lingkungannya mempunyai
potensi mengancam keamanan pangan;
b. mengendalikan pencemaran biologis, hama dan penyekit hewan
dan tanaman yang mengancam keamanan pangan; dan
c. menekan seminimal mungkin, residu kimia yang terdapat dalam
bahan baku pangan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, obat
pengendali hama dan penyakit, bahan pemacu pertumbuhan dan
obat hewan yang tidak tepat guna.
(2) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, perikanan atau kehutanan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.
Pasal 5
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b adalah cara penanganan yang
memperhatikan aspek-aspek keamanan pangan, antara lain dengan
cara:
a. mencegah tercemarnya pangan segar oleh cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan dari udara, tanah, air, pakan, pupuk, pestisida, obat
hewan atau bahan lain yang digunakan dalam produksi pangan
segar; atau
b. mengendalikan kesehatan hewan dan tanaman agar tidak
mengancam keamanan pangan atau tidak berpengaruh negatif
terhadap pangan segar.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas
dan kewenangan masing-masing.
Pasal 6
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang
memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara:
a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran bologis, kimia
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan;
b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta
mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku,
penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan,
penyimpanan atau pengangkutan.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang perindustrian atau perikanan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pangan olahan tertentu ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 7
(1) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf d adalah cara distribusi yang memperhatikan
aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara:
a. Melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan
kerusakan pangan;
b. Mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan
pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembagaan, dan
tekanan udara; dan
c. mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran
kembali pangan yang didistribusikan.
(2) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang perindustrian, pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.
Pasal 8
(1) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf e adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan
pangan, antara lain dengan cara:
a. mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak
penyimpanan agar tidak terjadi pencemaran silang;
b. mengendalikan stok penerimaan dan penjualan;
c. mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kedaluwarsanya;
dan
d. mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya
yang berkaitan dengan suhu, kelembagaan, dan tekanan udara.
(2) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf f adalah cara produksi pangan yang
memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara:
a. mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran bologis,
kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan;
b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta
mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku,
penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan,
penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian.
(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan.
Pasal 10
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan,
kehutanan, perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan
pedoman cara yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk
diterapkan secara wajib.
Bagian Kedua
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 11
(1) Setiap orang yang memperoduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang
dinyatakan dilarang.
(2) Bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan
tambahan pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan
tambahan pangan yang diizinkan.
(2) Nama dan golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan, tujuan
penggunaan dan batas maksimal penggunaannya menurut jenis
pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
Badan.
Pasal 13
(1) Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi
belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih
dahulu diperiksa keamanannya, dan dapat digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh
persetujuan Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Bagian Ketiga
Pangan Produk Rekayasa Gentika
Pasal 14
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau mengunakan bahan
baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam
kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan
pangan tersebut sebelum diedarkan.
(2) Pmeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk
rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaannya
sebagai pangan;
b. deskripsi organisme donor;
c. deskripsi modifikasi genetika;
d. karakterisasi modifkasi genetika; dan
e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansi,
perubahan nilai gizi, alerginitas dan toksisitas.
(3) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang
menangani keanaman pangan produk rekayasa genetika.
(4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan keamanan pangan produk
rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa
genetika.
(5) Kepala Badan menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan,
dan/atau bahan bantu lain hasil proses rekayasa genetika yang
dinyatakan aman sebagai pangan dengan memperhatikan rekomendasi
dari komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa
genetika.
Bagian Keempat
Iradiasi Pangan
Pasal 15
(1) Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan untuk diedarkan harus mendapatkan izin pemanfaatan tenaga
nuklir dan didaftarkan kepada Kepala Badan yang bertanggung jawab
di bidang pengawasan tenaga nuklir.
(2) Setiap pangan yang diproduksi dengan menggunakan teknik dan/atau
metode iradiasi untuk diedarkan harus memenuhi ketentuan tentang
pangan iradiasi yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Bagian Kelima
Keamanan Pangan
Pasal 16
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apapun sebagai kemasan pangan yang
dinyatakan terlarang dan/atau yang dapat melepaskan cemaran yang
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
(2) Bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 17
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan wajib
menggunakan bahan kemasan yang dizinkan.
(2) Bahan kemasan yang dizinkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 18
(1) Bahan selain yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat
(2) hanya boleh digunakan sebagai bahan kemasan pangan setelah
diperiksa keamanannya dan mendapatkan persetujuan dari Kepala
Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 19
(1) Setiap orang yang melakukan produksi pangan yang akan diedarkan
wajib melakukan pengemasan pangan secara benar untuk
menghindari terjadinya pencemaran terhadap pangan.
(2) Tata cara pengemasan pangan secara benar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 20
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas
kembali dan diperdagangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap pangan yang pengadaanya dalam jumlah besar dan lazim
dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih
lanjut.
(3) Setiap orang yang mengemas kembali pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib melakukan pengemasan pangan secara benar
untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap pangan.
Bagian Keenam
Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium
Pasal 21
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan
bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai
dengan jenis pangan yang diproduksi.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan,
kehutanan, perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan berwenang
mewajibkan penerapan standar atau persyaratan lain yang berkenaan
dengan sistem jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
(3) Penetapan standar atau persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan secra bertahap dengan memperhatikan
kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.
(4) Dalam menetapkan standar dan persyaratan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, perikanan, kehutanan, perindustrian, kesehatan atau Kepala
Badan wajib memperhatikan perjanjian TBT/SPS WTO atau perjanjian
yang telah diratifikasi Pemerintah.
Pasal 22
(1) Menteri yangbertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing,
berwenang menetapkan jenis pangan segar yang wajib diuji secara
laboratoris sebelum diedarkan.
(2) Kepala Badan berwenang menetapkan jenis pangan olahan yang wajib
diuji secara laboratoris sebelum diedarkan.
(3) Pengujian secara laboratoris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan di laboratorium pemerintah atau laboratorium lain
yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau Lembaga
Akreditasi lain yang diakui oleh Komite Akreditasi Nasional.
(4) Penetapan dan penerapan persyaratan pengujian secara laboratoris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara
bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem
pangan.
Bagian Ketujuh
Pangan Tercemar
Pasal 23
Setiap orang dilarang mengedarkan:
a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan;
c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam
kegiatan atau proses produksi pangan;
d. panganyang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai,
atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau
berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak
dikonsumsi manusia; atau
e. pangan yang sudah kedaluwarsa.
Pasal 24
(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau
Kepala Badan:
a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau
proses produksi pangan;
b. menetapkan ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan;
c. mengatur dan/atau menetapkan persyaratan lagi penggunaan cara,
metode, dan/atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses
produksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran pangan yang dapat memiliki risiko merugikan dan/atau
membahayakan kesehatan manusia;
d. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi
peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan/atau penyajian
pangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan segar
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian
dan perikanan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan olahan
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 25
(1) Setiap orang yang mengetahui adanya keracunan pangan akibat
pangan tercemar wajib melaporkan kepada unit pelayanan kesehatan
terdekat.
(2) Unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
segera melakukan tindakan pertolongan kepada korban.
(3) Dalam hal menurut unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdapat indikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan
pangan, unit pelayanan kesehatan tersebut wajib segera mengambil
contoh pangan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan dan
memberikan laporan kepada dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan dan Badan.
(4) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan melakukan pemeriksaan/penyelidikan dan pengujian
laboratorium terhadap contoh pangan untuk menentukan penyebab
keracunan pangan.
(5) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
melakukan pengkajian terhadap laporan dan menetapkan kasus
keracunan pangan merupakan KLB keracunan pangan.
(6) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib melakukan pemeriksaan
dan penanggulangan KLB keracunan pangan serta melaporkan kepada
dinas Propinsi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dan
Badan.
Pasal 26
(1) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Kabupaten/Kota
atau ada permintaan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Daerah Provinsi wajib melaksanakan pemeriksaan dan
penanggulangan KLB keracunan pangan.
(2) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Provinsi, atau ada
permintaan dari Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Pusat wajib
melaksanakan pemeriksaan dan penanggulangan KLB keracunan
pangan.
Pasal 27
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap KLB keracunan
pangan patut diduga merupakan tindak pidana, segera dilakukan tindakan
penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan dan/atau penyidik
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pertolongan kepada korban,
pengambilan contoh spesimen dan pengujian spesimen serta
pelaporan KLB keracunan pangan ditetapkan oleh Menteriyang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2) Tata cara pengembilan contoh pangan, pengujian laboratorium dan
pelaporan penyebab keracunan ditetapkan oleh Kepala Badan.
BAB III
MUTU DAN GIZI PANGAN
Bagian Pertama
Mutu Pangan
Pasal 29
Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang standardisasi nasional
menetapkan standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai Standar
Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 30
(1) Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dapat diberlakukan secara wajib dengan mempertimbangkan
keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian
lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis harus memenuhi
standar mutu pangan.
(2) Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yangbertanggung
jawab di bidang perindustrian, pertanian, perikanan atau Kepala Badan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing
berkoordinasi dengan kepala badan yang bertanggung jawab di bidang
standardisasi nasional.
(3) Hal-hal yang berkaitan dengan penerapan dan penilaian kesesuaian
terhadap Standar Nasinal Indonesia yang diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan jenis pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Standar
Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 31
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau
Kepala Badan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing dapat
menetapkan mutu pangan di luar Standar Nasional Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 bagi pangan yang mempunyai
tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi.
Bagian Kedua
Sertifikasi Mutu Pangan
Pasal 32
(1) Sertifikasi dan penandaan yang menyatakan kessuaian pangan
terhadap Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau
Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing
menetapkan persyaratan dan tata cara sertifikasi mutu pangan yang
mempunyai tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31.
(3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Standar
Nasional Indonesia yang diberlakukan wajib atau terhadap persyaratan
ketentuan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan
bagian dari pengawasan pangan sebelum diedarkan.
Bagian Ketiga
Gizi Pangan
Pasal 33
(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan
standar status gizi masyarakat dan melakukan pemantauan dan
evaluasi status gizi masyarakat.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian,
perikanan, perindustrian atau Kepala Badan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing mengupayakan terpenuhinya
kecukupan gizi, melindungi masyarakat dari gangguan gizi dan
membina masyarakat dalam upaya perbaikan status gizi.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian,
perikanan, perindustrian atau Kepala badan bersama-sama Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota serta masyarakat melakukan
penanganan terjadinya gangguan gizi masyarakat yang tidak sesuai
dengan status gizi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan Angka
Kecukupan Gizi yang ditinjau secara berkala.
Pasal 35
(1) Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan status gizi
masyarakat perlu dilakukan upaya perbaikan gizi melalui pengayaan
dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu yang diedarkan.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan
jenis dan jumlah zat gizi yang akan ditambahkan serta jenis-jenis
pangan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui pengayaan
dan/atau fortifikasi.
(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan
jenis-jenis pangan yang wajib diperkaya dan/atau difirtifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengayaan
dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Setiap orang yang memproduksi pangan yang harus diperkaya
dan/atau difortifikasi untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dan
tata cara pengayaan dan/atau fortifikasi gizi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki surat
persetujuan pendaftaran dari Kepala Badan.
BAB IV
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN
DARI WILAYAH INDONESIA
Bagian Pertama
Pemasukan Pangan ke dalam Wilayah Indonesia
Pasal 36
Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang keamanan, mutu, dan gizi pangan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
Pasal 37
(1) Terhadap pangan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing dapat menetapkan persyaratan bahwa:
a. Pangantelah diuji, diperiksa dan/atau dinyatakan lulus dari segi
keamanan, mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di
negara asal;
b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21;
c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
e. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari
segi keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum peredarannya.
(2) Terhadap pangan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan, Kepala Badan dapat menetapkan
persyaratan bahwa:
a. Pangan telah diuji, diperiksa dan/atau serta dinyatakan lulus dari
segi keamanan, mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang
di negara asal;
b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21;
c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari
segi keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum peredarannya.
(3) Dalam menetapkan peryaratan sebagaimana dimakasud pada ayat (1)
dan ayat (2), Menteri atau Kepala Badan memperhatikan perjanjian
TBT/SPS WTO atau perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah.
Pasal 38
(1) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
terlebih dahulu harus diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, maka pengeluarannya dari pabean
hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pemasukan
pangan yang dikeluarkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.
(2) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (2) huruf c, maka pengeluarannya dari pabean hanya
dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pemasukan pangan
yang dikeluarkan Kepala Badan.
Pasal 39
Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi
pangan.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan pangan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pertanian, perikanan, perdagangan dan Kepala Badan sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
Bagian Kedua
Pengeluaran Pangan dari Wilayah Indonesia
Pasal 41
(1) Setiap pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib
memenuhi persyaratan keamanan pangan.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau
Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing
dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan
dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan/atau
diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan label dan/atau gizi
pangan.
(3) Setiap orang yang mengeluarkan pangan dari wilayah Indonesia
bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan.
(4) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau
Kepala Badan berkoordinasi dengan kepala badan yang bertanggung
jawab di bidang standardisasi nasional untuk mengupayakan saling
pengakuan pelaksanaan penilaian kesesuaian dalam memenuhi
persyaratan negara tujuan.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Bagian Pertama
Pengawasan
Pasal 42
(1) Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap
pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran sebelum diedarkan wajik memiliki surat persetujuan
pendaftaran.
(2) Pangan olahan yang wajib memiliki surat persetujuan pendaftarab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
(3) Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Kepala Badan berdasarkan hasil penilaian keamanan,
mutu dan gizi pangan olahan.
(4) Penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan olahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Kepala Badan sesuai
dengan kriteria dan tatalaksana.
(5) Kriteria dan tatalaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan oleh Kepala Badan dengan mengacu kepada persyaratan
keamanan, mutu dan gizi pangan.
(6) Persyaratan dan tata cara memperoleh surat persetujuan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 43
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) untuk pangan olahan yang diperlukan oleh Industri rumah
tangga.
(2) Pangan olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
(3) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Kepala Badan menetapkan pedoman pemberian sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang meliputi antara lain:
a. jenis pangan;
b. tata cara penilaian; dan
c. tata cara pemberian sertifikasi produksi pangan.
Pasal 44
Pangan olahan yang dibebaskan dari kewajiban surat persetujuan
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 atau sertifikat
produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43, yaitu pangan yang:
a. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu
kamar;dan/atau
b. dimasukkan kedalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk
keperluan;
1. permohonan surat persetujuan pendaftaran;
2. penelitian; atau
3. konsumsi sendiri.
Pasal 45
(1) Badan berwenang melakukan pengawasan keamanan, mutu dan gizi
pangan yang beredar.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Badan berwenang untuk:
a. mengambil contoh pangan yang beredar,dan/atau
b. melakukan pengujian terhadap contoh pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) butir a.
(3) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b:
a. untuk pangan segar disampaikan kepada dan ditindaklanjuti olah
instansi yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan
atau kehutanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan
masing-masing;
b. untuk pangan olahan disampaikan dan ditindaklanjuti oleh instansi
yang bertanggung jawab di bidang perikanan, perindustrian atau
Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing;
c. untuk pangan olahan tertentu ditindaklanjuti oleh Badan;
d. untuk pangan olahan hasil industri rumah tangga pangan dan
pangan siap saji disampaikan kepada dan ditindaklanjuti oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 46
(1) Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang melakukan periksaan dalam
hal terdapat terjadinya pelanggaran hukum dibidang pangan segar.
(2) Kepala Badan berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat
dugaan terjadinya pelanggaran hukum dibidang pangan olahan.
(3) Bupati/Walikota berwenang, melakukan pemeriksaan dalamhal
terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan siap
saji dan pangan olahan hasil industri rumah tangga.
(4) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau
Kepala Badan berewenang:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan
perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil
contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam
kegiatan produksim penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
perdagangan pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan
yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan
pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;
d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga
memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan/atau
dokumen lain sejenis.
(5) Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau
Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing
menunjuk pejabat untuk melakukan pemeriksaan.
(6) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), dilengkapi dengan surat perintah.
Pasal 47
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3) dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 terjadi pelanggaran, Gubernur, Bupati/Walikota atau
Kepala Badan, berwenang mengambil tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah
menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan
jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah); dan/atau
f. pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau
sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga.
(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilaksanakan berdasarkan risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran
yang dilakukan.
(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf f dilakukan oleh pejabat penerbit izin produksi, izin usaha,
persetujuan pendaftaran atau sertifikasi produksi pangan industri
rumah tangga yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas
kewenangan masing-masing.
Pasal 48
(1) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan oleh setiap orang yang memproduksi
atau yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan
dilaksanakan sesuai dengan pedoman penarikan dan pemusnahan
pangan.
(2) Setiap pihak yang terlibat dalam peredaran pangan wajib membantu
pelaksanaan penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk pangan segar dilaksanakan atas perintah Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing.
(4) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk pangan olahan dilaksanakan atas perintah Kepala
Badan.
(5) Pedoman penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 49
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46, patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera
dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Badan dapat mengumumkan kepada masyarakat hasil pengujian dan/atau
hasil pemeriksaan produk pangan melalui media masa.
Bagian Kedua
Pembinaan
Pasal 51
(1) Pembinaan terhadap produsen pangan segar dilaksanakan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau
kehutanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(2) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan dilaksanakan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian
atau perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan tertentu dilaksanakan
oleh Kepala Badan.
(4) Pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan industri rumah
tangga pangan dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
(5) Pembinaan terhadap Pemerintah Daerah dan masyarakat di bidang
pengawasan pangan dilaksanakan oleh Kepala Badan.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
(1) Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan keamanan, mutu dan
gizi pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan,
masukan dan/atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang
pangan.
(2) Penyampaian permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secra langsung
atau tidak langsung kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, perikanan, kesehatan, perindustrian, Kepala Badan,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.
(3) Tata cara penyampaian permasalahan, masukan dan/atau pemecahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan
ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar